apa pendapat kamu kehidupan tampa peran orang tua
Sosiologi
ATULANG24
Pertanyaan
apa pendapat kamu kehidupan tampa peran orang tua
2 Jawaban
-
1. Jawaban widiaalifah35
Gagal atau hancur karan pendidikan moral pertama kali harus dari orang tua -
2. Jawaban itarohmah
Pertanyaan ini selalu menggelayut dalam. Saat hujan melanda, teringat kenangan masa kecil di kampung halaman. Bersama Ibu dan ayah yang hangat kasih sayangnya. Ketika musim hujan seperti ini, di sana, di rumah kayu yang reok, selalu ada masakan istimewa, pisang goreng, dan teh hangat buatan ibu menjadi rebutan anak-anak manusia yang nakal itu; kami, anak-anaknya.
Bagaimana rasanya tanpa Ibu? Sering mata saya melihat anak-anak di pinggiran jalan mengais rezeki dengan memulung, tanpa ibu, tanpa keluarga. Betapa kerasnya kehidupan. Sebaliknya, perempuan tua yang kerempeng, dengan pakaian kumal dan wajah yang lusuh, mengisyarakatkan kemiskinan berkarat, menantang kehidupan dengan mengemis di jalan-jalan ibu kota. Barangkali untuk menyambung hidup anak-anaknya, demi sepotong roti mengganjal perut. Entahlah, Tuhan terlalu baik dan adil untuk disalahkan.
Bagaimana kehidupan ini bisa bahagia tanpa senyum Ibu? Banyak orang menyesal meninggalkan Ibunya. Saat renta, ia kembali untuk sekadar membuat Ibunya tersenyum. Walau kadang senyum itu tampak dipaksakan hanya karena tidak riang Ibunya hidup dalam kemelaratan. Banyak Ibu dibuang oleh anak-anaknya, hanya karena Ibu yang mencintainya sepenuh jiwa dan bertarung dengan kematian untuk mencegahnya dari sakaratul maut, hidup dalam kemiskinan. Bahkan tidak jarang, Ibu-ibu yang mulia itu, menjadi TKW di negeri orang, demi anak-anak yang dibanggakannya. Betapa hebatnya seorang Ibu. Merekalah pahlawan kehidupan.
Betapa banyak orang tidak bangga dengan orang tua, terlebih kepada Ibu-ibu mereka. Caci maki dan sumpah serapah kadang begitu mudah mengalir dari lisannya hanya karena kesalahan kecil Ibu yang pikun dan renta. Padahal di luar sana, di hamparan bumi yang luas sana, banyak anak-anak merindukan kasih sayang Ibu yang tidak pernah dijumpainya semasa hidup.
Syukurilah kehadiran Ibu. Ibu yang tidak pernah peluh mendoakan anak-anak kebanggaannya di sepertiga malam. Ibu yang menahan sabar karena sifat anak-anaknya yang durhaka. Ibu yang selalu berlinang air mata memaafkan kealpaan anak-anaknya yang jahil. Ibu, yang dengan berutang pun hanya untuk makan anak-anaknya setiap hari.
Bagaimana mungkin seorang anak menyia-nyiakan Ibundanya? Padahal di telapak kaki Ibulah Surga itu dialamatkan. Bagaimana mungkin seorang anak menggapai ridha Tuhannya? Padahal ridha itu ada pada ridha orang tuanya. Bagaimana mungkin seorang Ibu ditelantarkan tanpa tanggungan oleh anak-anaknya? Padahal merekalah yang melahirkannya, yang menahan sakitnya menghadirkan bayi-bayi mungil yang didambakannya. Bagaimana mungkin hidup bisa tenang, tenteram, dan membahagiakan? Sementara Ibu hidup dalam penderitaan.
Maka, pantaslah Allah memuliakan para Ibu dengan meninggikan kemuliaan itu dari kedudukan anak-anaknya. Mari kita cintai Ibunda kita. Selagi mereka masih ada tidak pantaslah seorang anak menjadi durhaka hanya karena dunia yang dikejarnya atau karena kepatuhan anak kepada istrinya.
Semoga kalimat terakhir ini memotivasi para anak untuk berbakti kepada orang tuanya. Terlebih kepada Ibu yang mencintai mereka. “Celaka, celaka, celakalah seorang anak yang ketika kedua orang tuanya atau salah satunya masih hidup namun ia tidak memasukkannya ke dalam surga.”
Bagaimana rasanya hidup tanpa Ibu? Tentu kehidupan menjadi sunyi, tak ada canda tawa ibu di beranda rumah, tak ada teriakan ibu di dapur memanggil anak-anaknya untuk makan, tak ada tangisan ibu ketika anak-anaknya meraih predikat terbaik di sekolahnya. Cinta, penghargaan, dan bak, itulah kado terbaik untuk Ibu. Maka, mari kita berbakti dengan sebaik-baiknya bakti.
Jika pernah membuat Ibu menangis, berusahalah untuk menggantikannya dengan senyum dan tawa. Semoga dengan upaya kerdil itu, Allah berkenan mengampuni kita. Semoga Ibu kita mendapat Surga terbaik di sisi Allah kelak. Allaahumma Aamiin....